Keutamaan Manfaat Ciri Sifat Tawadhu Dan Bahaya Sifat Sombong
Keutamaan Manfaat Ciri Sifat Tawadhu Dan Bahaya Sifat Sombong - Tawadhu secara bahasa dapat dimaknai dengan 'merendahkan diri'. Artinya sengaja memposisikan diri lebih rendah dari posisi sebenarnya. Tawadhu adalah ridho jika dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dari yang sepantasnya. Tawadhu’ merupakan sikap pertengahan antara sombong dan melecehkan diri. Sombong berarti mengangkat diri terlalu tinggi hingga lebih dari yang semestinya. Sedangkan melecehkan yang dimaksud adalah menempatkan diri terlalu rendah sehingga sampai pada pelecehan hak.
Ibnu Hajar berkata, “Tawadhu adalah menampakkan diri lebih rendah pada orang yang ingin mengagungkannya. Ada pula yang mengatakan bahwa tawadhu’ adalah memuliakan orang yang lebih mulia darinya.” Al-Imam Fudhai bin ‘Iyadh mengatakan, tawadhu adalah engkau merendah dan tunduk kepada kebenaran. Jika engkau mendengarnya dari seorang bocah engkau menerimanya, bahkan walaupun engkau mendengar kebaikan itu dari orang yang paling bodoh sekalipun engkau mau menerimanya”. Imam Hasan al-Bashri rahimahullah juga pernah berkata: “tawadhu’ adalah tatkala engkau keluar dari rumahmu dan tidaklah engkau menjumpai seorang muslim pun kecuali engkau menganggap dia lebih utama dibandingkan dirimu”.
Pada dasarnya tawadhu hanya ditujukan kepada Allah Yang Maha Agung. Yakni merasa lemah dan tidak berdaya dibanding dengan kekuasaan Allah swt. Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan bahwa tujuan tawadhu sebenarnya adalah mengharapkan surga (ridha-Nya) Allah swt dan menghindarkan diri dari api neraka (thoma'an li jannatihi ta'ala wa rahban min narihi ta'ala). Meskipun tawadhu' ditujukan kepada Allah swt sebagai bukti adanya hubungan vertikal, tetapi harus dibuktikan dalam praktek keseharian ketika bermuamalah dengan seksama yang mengandaikan hubungan horizontal.
Sebagaimana di terangkan dalam surat al-Furqan ayat 63
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Artinya bahwa diantara tanda-tanda orang yang memiliki sifat tawadhu' selalu berjalan dengan menundukkan kepala. Seolah-olah tidak pernah melihat langit. Berjalan dengan santai tanpa membusungkan dada. Meskipun ia memiliki kuasa sebagai gubernur, jendral ataupun ulama misalnya. Hal ini berbeda dengan orang-orang yang sombong yang berjalan dengan mendongak ke atas tidak pernah melihat bumi. Begitu spesialnya sifat tawadhu, sehingga Allah mengistimewakan mereka yang memiliki sifat tawadhu' dengan menyebut 'ibadurrahman' hamba-hamba Allah yang Maha Penyayang. Hal ini sejalan dengan janji Allah sebagaimana disampaikan kepada Rasulullah saw dalam haditsnya
من توضع رفعه الله ومن تكبر وضعه الله
Allah akan mengangkat derajat mereka yang memiliki sifat tawadhu', dan akan membenamkan mereka yang bersifat sombong. Salah satu tujuan diutusnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang baik.”. Dan ketahuilah bahwa bagusnya akhlaq itu memasukkan pelakunya ke surga dan mengharamkannya atas neraka.
Antara Ilmu dan Akhlak
Syekh Sholih Al-Ushaimy -hafizhahullah- mengatakan : “Orang yang membawa kalian kepada akhlak, walaupun sedikit ilmunya, itu lebih baik bagi kalian, daripada orang yang tidak mempedulikan sisi akhlak kalian, walaupun banyak ilmunya. Sedikitnya ilmu dengan disertai akhlak adalah kesempurnaan, sedang banyaknya ilmu dengan akhlak yang kurang adalah kesirnaan. Ilmu bukanlah dengan banyaknya kata-kata, ilmu itu keberkahan, dan tidak mungkin keberkahan bersama akhlak yang kurang”
Tawadhu, Akhlak Yang Sering Dilalaikan
Ummul Mu’minin ‘Aisyah radhiyallaahu ta’ala ‘anha mengatakan: “Sesungguhnya kalian sungguh sangat melalaikan ibadah yang paling utama, yaitu tawadhu’”
Ilmu Menumbuhkan Sifat Tawadhu’
Termasuk buah dari ilmu yang paling agung adalah sikap tawadhu’. Tawadhu’ adalah ketundukan secara total terhadap kebenaran, dan tunduk terhadap perintah Allah dan rasul-Nya dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan disertai sikap tawadhu’ terhadap manusia dengan bersikap merendahkan hati, memperhatikan mereka baik yang tua maupun muda, dan memuliakan mereka. Kebalikannya adalah sikap sombong yaitu menolak kebenaran dan rendahkan manusia
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Dan tanda kebinasaan yaitu tatkala semakin bertambah ilmunya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakannya. Dan setiap kali bertambah amalnya maka bertambahlah keangkuhannya, dia semakin meremehkan manusia dan terlalu bersangka baik kepada dirinya sendiri.”
Tawadhu’ Akhlak Para Nabi
Tawadhu’ juga merupakan akhlak mulia dari para nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam. Lihatlah Nabi Musa ‘alaihis salam melakukan pekerjaan rendahan, memantu memberi minum pada hewan ternak dalam rangka menolong dua orang wanita yang ayahnya sudah tua renta. Lihat pula Nabi Daud ‘alaihis salam makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Nabi Zakariya dulunya seorang tukang kayu. Sifat tawadhu’ Nabi Isa ditunjukkan dalam perkataannya, “Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32).
Sebab Mendapatkan Kemuliaan Dunia dan Akherat
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim no. 2588).
Yang dimaksudkan di sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia.
Sebab adil, disayangi, dicintai di tengah-tengah manusia.
Orang tentu saja akan semakin menyayangi orang yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Itulah yang terdapat pada sisi Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pernah bersabda, “Dan sesungguhnya Allah mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas pada yang lain.” (HR. Muslim no. 2865).
Ciri-Ciri tanda orang yang memiliki sifat tawadhu
1. Tidak suka atau tidak berambisi menjadi orang terkenal.
Orang seperti ini menghindari penonjolan diri atau mencari muka demi meraih popularitas. Artinya orang tawadhu’ sekaligus adalah orang yang ikhlas bekerja tanpa pamrih mendapatkan kemasyhuran di tengah-tengah masyarakat, apalagi mencari pujian.
2. Selalu menjunjung tinggi kebenaran dan bersedia menerimanya tanpa memandang hal-hal duniawi,
seperti status sosial, dari orang yang menyatakannya. Hal ini sejalan dengan nasihat Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA berbunyi, “La tandhur ilâ man qâla, wandhur ilâ ma qâla (Jangan melihat siapa yang mengatakan, lihatlah apa yang dikatakannya)." Jadi orang tawadhu’ sekaligus adalah orang yang sportif atau jujur.
3. Tidak segan-segan untuk bergaul dengan fakir miskin, dan bahkan secara tulus mencintai mereka.
Hal ini persis seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW sebagaimana dikisahkan dalam kitab Maulid Al-Barzanji, karya Syaikh Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad Al-Barzanji, halaman 123, sebagai berikut: “Wakâna shallallâhu alaihi wassalam syadidal haya’i wattwadhu’i.... yuhibbul fuqarâ’a wal masâkina wayajlisu ma’ahum.” (Rasulullah SAW adalah pribadi yang sangat pemalu dan amat tawadhu’... beliau mencintai fakir miskin dan tidak segan-segan bergaul dengan duduk bersama mereka.)
4. Ringan tangan dalam membantu orang-orang yang memerlukan bantuan sehingga bersedia bertindak atas nama mereka.
Ia tidak merasa turun derajat jika yang ia bantu ternyata dari kalangan yang lebih rendah atau orang-orang biasa. Dengan kata lain orang tawadhu’ tidak suka bersikap diskriminatif sehingga hanya bersedia membantu orang-orang yang sederajat atau lebih tinggi saja.
5. Tidak merasa berat untuk mengucapkan terima kasih kepada siapa saja yang telah membantu menunaikan kewajibannya, karena suatu alasan, tanpa memandang status sosialnya.
Ketika ternyata ada yang lalai dalam membatu, ia tidak keberatan untuk memaafkannya. Dengan kata lain orang tawadhu’ tentu berterima kasih atas kebaikan orang lain dan tidak keberatan untuk memaafkan mereka yang telah berbuat salah.
Hakekat Sombong
Sikap sombong adalah memandang dirinya berada di atas kebenaran dan merasa lebih di atas orang lain. Orang yang sombong merasa dirinya sempurna dan memandang dirinya berada di atas orang lain.
Dalam sebuah hadits Rasulullah telah menjelaskan sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.
Dan diantara hakikat Sombong adalah Menolak Kebenaran dan Meremehkan Orang lain, orang yang sombong, selalu berambisi untuk meninggikan dirinya di hadapan Allah Ta’ala dengan cara menolak syariat dan ajaran agama. Ibnu Katsir ketika menjelaskan tentang tafsir firman Allah :
وَأَنْ لا تَعْلُوا عَلَى اللَّهِ
“dan janganlah kamu menyombongkan diri terhadap Allah.” Yakni: Janganlah kalian sombong dari mengikuti ayat-ayat-Nya dan melaksanakan hujah-hujah-Nya serta mengimani bukti-bukti-Nya.
Allah sangat membenci orang yang sombong. Hal ini terbersit dari hadits qudsi yang disampaikan oleh Rasulullah saw
عن أبي هريرة قال : قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : ( قال الله عز وجل : الكبرياء ردائي ، والعظمة إزاري ، فمن نازعني واحداً منهما قذفته في النار ) وفى رواية (ولا أبالى)
Sifat sombong itu selendang-Ku, keagungan adalah busana-Ku. Barang siapa yang merebut salah satu dari-Ku, akan Ku lempar ia ke neraka. Dan Aku tidak peduli.
Artinya, kesombongan dan keagungan itu hanya khusus milik Allah. Allah sungguh tidak terima bila ada hamba yang memilki sifat keduanya. Begitu tersinggungnya Allah hingga Ia akan melempar siapapun yang 'menggunakan' kedua sifat itu, ke Neraka tanpa peduli. Tanpa peduli apakah dia seorang sufi, seorang wali, seorang nabi, seorang presiden atau juga seorang raja.
Dosa Pertama Iblis
Sebagian salaf menjelaskan bahwa dosa pertama kali yang muncul kepada Allah adalah kesombongan.
Allah Ta’ala berfirman,“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kalian kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur (sombong) dan ia termasuk golongan orang-orang yang kafir“ (QS. Al Baqarah:34)
Qotadah berkata tentang ayat ini, “Iblis hasad kepada Adam ‘alaihis salaam dengan kemuliaan yang Allah berikan kepada Adam. Iblis mengatakan, “Saya diciptakan dari api sementara Adam diciptakan dari tanah”. Kesombongan inilah dosa yang pertama kali terjadi . Iblis sombong dengan tidak mau sujud kepada Adam”
Hukuman Pelaku Sombong di Dunia
Dalam sebuah hadist yang shahih dikisahkan sebagai berikut ,“Ada seorang laki-laki makan di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kirinya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makanlah dengan tangan kananmu!” Orang tersebut malah menjawab, “Aku tidak bisa.” Beliau bersabda, “Apakah kamu tidak bisa?” -dia menolaknya karena sombong-. Setelah itu tangannya tidak bisa sampai ke mulutnya” (H.R. Muslim no. 3766).
Sombong, Sifat Penghuni Neraka
Allah Ta’ala berfirman: “Dikatakan (kepada mereka), “Masukilah pintu-pintu neraka Jahannam itu, dalam keadaan kekal di dalamnya” Maka neraka Jahannam itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri.” (QS. Az-Zumar: 72)
Kesombongan yang Paling Buruk
Al Imam Adz Dzahabi rahimahullah berkata, “Kesombongan yang paling buruk adalah orang yang menyombongkan diri di hadapan manusia dengan ilmunya, merasa dirinya besar dengan kemuliaan yang dia miliki. Bagi orang tersebut tidak bermanfaat ilmunya untuk dirinya. Barangsiapa yang menuntut ilmu demi akhirat maka ilmunya itu akan menimbulkan hati yang khusyuk serta jiwa yang tenang. Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk membanggakan diri dan meraih kedudukan, memandang remeh kaum muslimin yang lainnya serta membodoh-bodohi dan merendahkan mereka, maka hal ini merupakan kesombongan yang paling besar. Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun hanya sebesar dzarrah (biji sawi) ”
Imam Asy Syafi’i beliau berkata, “Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah menampakkan kedudukannya. Dan orang yang paling mulia adalah orang yang tidak pernah menampakkan kemuliannya.”
Ya Allah, muliakanlah kami dengan sifat tawadhu’ dan jauhkanlah kami dari sifat sombong.
اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ
“Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)”. Amiin ya Robbal ‘Alamin
Oleh karena itu guna mempermudah diri melatih menuju ketawadhuan kepada Allah hendaknya seorang hamba harus mengakui dan memiliki beberapa perasaan.
1.Merasa hina (dzlil) dan meyakini bahwa yang mulia adalah Allah. seorang hamba harus segera sadar bahwa ia seorang yang hina. Ia hanyalah berasal dari setetes air mani, yang jikalau Allah swt menghendaki bisa saja mani itu tumpah dan menjadi konsumsi semut dan lalat.
2. Merasa faqir selalu membutuhkan dan Allahlah yang Maha Kaya Raya. Sekarang para hartawan dan miliyuner akan merasa bangga atas kejayaan dan mengandalkan segala macam harta yang dimilikinya padahal kata Allah:
المال مالي والفقراء عيالي والأغنياء وكلائي فإن بخل وكلائي على عيالي أذقتهم وبالي ولا أبالي ...
Sesungguhnya semua harta itu adalah hartaKu, orang-orang faqir itu keluargaKu, dan para hartawan adalah wakilku. Barang siapa yang berlaku pelit terhadap keluargaKu. Aku akan menyiksanya tanpa peduli.
3. Merasa bahwa dirinya adalah orang yang bodoh dan Allah yang Yang Maha Mengetahui. Seringkali para hamba yang dianugerahi ilmu oleh Allah swt. melupakan bahwasannya ilmu itu hanya sekedar titipan Allah swt yang dapat diambil kapanpun. Lihatlah ketika seorag professor, doctor, cendekia tetapi terkena struk apa yang dapat ia lakukan?
4. Merasa lemah dan hanya Allah Yang Maha Kuat. Sebagai pelajaran betapa banyak legenda tentang kejayaan para raja yang berkuasa begitu hebatnya, tetapi sekarang hanya tinggal dalam kenangan dan catatan sejarah saja. Bukankah kekuatan negara adidaya di dunia juga selalu silih berganti?
Adapun gambaran praktek tawadhu kepada sesama dalam kehidupan sehari sangatlah bagus berpegang pada pesan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani kepada muridnya bahwa
اذا لقيت أحدا من الناس رأيت الفضل له عليك وتقول عسى أن يكون عند الله خيرا منى وأرفع درجة, فإن كان صغيرا قلت هذا لم يعص الله وأنا قد عصيته فلا شك إنه خير منى, وإن كان كبيرا قلت هذا قد عبد الله قبلى, وإن كان عالما قلت هذا أعطي مالم أبلغ ونال مالم أنال وعلم ما جهلت وهو يعمل بعلمه, وإن كان جاهلا هذا أعصى الله بالجهل وأنا عصيته بالعلم ولا أدرى بما يحتمل لى ولا يحتمل له
Jikalau kamu berjumpa dengan seseorang maka hendaklah engkau melihat keunggulannya dibanding denganmu. Dan katkanlah (dalam hati) bahwa "orang itu lebih baik dari pada aku di mata Allah swt". Maka apabila (kamu berjumpa) dengan anak kecil, hendaklah berkata (dalam hati) dia ini belum terlalu banyak maksyiyat (karena umurnya lebih muda) dan otomatis dia lebih baik dari pada aku. Dan apabila (kamu berjumpa) dengan orang tua, hendaklah berkata orang ini telah lama beribadah kepada Allah sebelum aku (karena umurnya lebih tua, maka dia lebih baik dia dari pada aku).
Apabila (kamu berjumpa) dengan seorang yang 'alim, hendaklah berkata (dalam hati) dia telah diberi sesuatu (pengetahuan) yang aku belum memilikinya dan dia telah memperoleh sesuatu yang aku belum peroleh dan dia juga telah mengerti apa yang aku tidak mengerti. Dia beamal dengan ilmunya (pastilah lebih diterima amalnya dari padaku). Apabila (kamu berjumpa) dengan seorang yang bodoh, hendaklah berkata dia maksyiat karena kebodohannya, sedangkan aku melakukan maksyiat dengan ilmuku. Sungguh aku tidak tahu apakah aku lebih baik dari pada dia?
Demikianlah Keutamaan Manfaat Ciri Sifat Tawadhu dan Bahaya Sifat Sombong , semoga bermanfaat bagi kita semua. Ya Allah tunjukkanlah jalan kepada hambamu yang sombong ini jalan menuju ketawadhu'an yang engkau ridhai. Karena sesungguhnya hanya engkaulah yang mampu menjadikan kami orang yang bertawadhu.
Baca Juga Artikel Menarik Lainnya